Syariah

Apa Itu Musafir? Ini Syarat dan Keringanan yang Diperolehnya

Admin BFI Diterbitkan: 30 October, 2025
Diperbarui: 30 October, 2025
60
Apa Itu Musafir? Ini Syarat dan Keringanan yang Diperolehnya

Musafir adalah orang yang melakukan perjalanan jauh menuju tempat tertentu dalam jangka waktu tertentu, seperti mudik tahunan lintas daerah menjelang Idulfitri.

Dalam Islam, istilah ini sering dibahas dalam fiqih karena memiliki kedudukan khusus dengan aturan dan keringanan tertentu dalam menjalankan kewajiban ibadah. 

Seorang musafir berhak mendapatkan beberapa kemudahan, namun tetap ada syarat yang harus dipenuhi agar statusnya sah menurut ketentuan syariat. 

Untuk memahami siapa yang termasuk musafir dan apa saja keringanan yang diperolehnya, simak penjelasan lengkapnya berikut ini.

 

Apa Itu Musafir?

Musafir adalah istilah dari bahasa Arab yang berarti “orang yang melakukan perjalanan”. Menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali, musafir adalah seseorang yang bepergian untuk tujuan tertentu dengan jarak tempuh tertentu, kembali pada ukuran ‘urf (adat atau kebiasaan yang dikenal dari masyarakat setempat). 

Artinya, jika suatu perjalanan dianggap sebagai safar oleh masyarakat, maka status musafir berlaku meski jaraknya tidak terlalu jauh. Sebaliknya, jika dianggap bukan safar, maka tidak ada keringanan ibadah bagi pelakunya. 

Syarat Musafir

Pada masa Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam, safar atau perjalanan biasanya diukur dari lama waktu tempuhnya. Mazhab Syafi’i menyebut seseorang sebagai musafir jika melakukan perjalanan minimal dua hari, sedangkan mazhab Hanafi menetapkannya tiga hari. 

Secara umum, seseorang dapat disebut musafir apabila memenuhi beberapa syarat berikut:

  • Menempuh jarak perjalanan sekitar 85 km atau lebih atau sesuai kebiasaan masyarakat setempat (‘urf).
  • Tidak berniat menetap di tempat tujuan lebih dari empat hari.
  • Perjalanan dilakukan untuk tujuan yang mubah, bukan maksiat.

Musafir juga mendapat rukhsah atau keringanan, seperti boleh membatalkan puasa Ramadan, dengan ketentuan berikut:

  • Perjalanan yang ditempuh memenuhi jarak yang membolehkan qashar salat, sekitar 81–85 km.
  • Berangkat sebelum terbit fajar dan sudah melewati batas wilayah tempat tinggalnya.
  • Jika berangkat setelah fajar, tidak diperbolehkan berbuka atau membatalkan puasa.
  • Saat masih dalam perjalanan, musafir boleh tidak berpuasa. Namun jika sudah menetap di suatu tempat, wajib berpuasa kembali.

Sebagai catatan, musafir tetap boleh berpuasa jika mampu. Jika memilih berbuka, maka wajib menggantinya di luar bulan Ramadan.

 

Baca juga: Panduan Lengkap Haji: 6 Rukun Haji , Syarat, Biaya, dan Keutamaannya dalam Islam

 

Keringanan yang Diperoleh Musafir

Seorang musafir mendapat beberapa keringanan atau rukhsah dalam menjalankan ibadah agar tetap mudah dilakukan selama perjalanan. Berikut beberapa keringanan yang dapat diperoleh musafir:

1. Boleh Salat Qasar

Seorang musafir diperbolehkan melakukan salat Qasar atau meringkas salat empat rakaat menjadi dua rakaat. 

Ketentuan ini termasuk dalam hukum salat bagi musafir yang memberikan keringanan saat sedang bepergian jauh.

Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa ta'ala dalam QS. An-Nisa ayat 101 yang menjelaskan kebolehan mengqasar salat ketika dalam perjalanan. 

Para ulama juga sepakat bahwa salat yang dapat diqasar adalah Zuhur, Asar, dan Isya, sedangkan salat Magrib dan Subuh tidak boleh diqasar karena masing-masing memiliki ketentuan rakaat tersendiri.

2. Boleh Menjamak Salat

Menurut Imam Asy-Syafi’i ra., musafir diperbolehkan menjamak salat, yaitu menggabungkan dua salat dalam satu waktu. 

Salat Zuhur dan Asar dapat dijamak pada waktu Zuhur atau Asar, sedangkan salat Magrib dan Isya dapat dijamak pada waktu Magrib atau Isya. 

Pelaksanaannya bisa dengan jumlah rakaat penuh atau diqasar menjadi dua rakaat untuk salat yang empat rakaat, seperti Zuhur, Asar, dan Isya.

3. Salat di Atas Kendaraan

Seorang musafir tetap wajib melaksanakan salat fardu meski sedang berada di perjalanan. Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam. biasa melaksanakan salat sunah di atas kendaraannya menghadap ke arah mana pun. Namun, untuk salat fardu, beliau turun dan salat menghadap kiblat (HR. Bukhari). 

Dalam kondisi tertentu, seperti khawatir kehabisan waktu salat, musafir diperbolehkan salat di atas kendaraan, sebagaimana perintah Nabi kepada Ja’far bin Abi Thalib untuk salat di kapal selama tidak takut tenggelam (HR. Al-Bazzar).

Ketentuan salat di kendaraan antara lain: 

  • Dilakukan sambil berdiri dan menghadap kiblat jika mampu.
  • Tetap diupayakan berjamaah bagi laki-laki
  • Dilakukan seperti biasa. 

Jika tidak bisa rukuk atau sujud, cukup menundukkan kepala sesuai kemampuan. Bila sulit berwudu karena keterbatasan air, musafir juga diperbolehkan bertayamum sebagai bentuk keringanan.

 

Baca juga: 14 Tempat Wisata Religi Indonesia yang Populer dan Bersejarah

 

4. Boleh Tidak Berpuasa

Seorang musafir diperbolehkan tidak berpuasa saat bulan Ramadan, tetapi wajib menggantinya sebanyak hari yang ditinggalkan. 

Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa ta'ala dalam QS. Al-Baqarah ayat 185 yang menjelaskan bahwa orang yang sakit atau sedang dalam perjalanan boleh berbuka, lalu mengganti puasanya di hari lain. 

Allah memberikan keringanan ini sebagai bentuk kemudahan agar umat-Nya tidak mengalami kesulitan dalam beribadah.

5. Berhak Menerima Zakat

Salah satu golongan yang berhak menerima zakat adalah ibnu sabil, yaitu musafir yang kehabisan bekal di perjalanan hingga kesulitan untuk kembali ke tempat asalnya. 

Keringanan ini diberikan sebagai bentuk bantuan agar mereka dapat melanjutkan perjalanan atau pulang ke kampung halamannya.

Hikmah Keringanan untuk Musafir

Setiap keringanan yang diberikan kepada musafir tentu memiliki hikmah tersendiri. Berikut beberapa hikmah di balik kemudahan tersebut:

1. Kasih Sayang Allah

Rukhsah bagi musafir merupakan bentuk kasih sayang Allah Subhanahu wa ta'ala. kepada hamba-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang penuh kemudahan dan tidak memberatkan. 

Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah [2]:185 yang menegaskan bahwa Allah menghendaki kemudahan bagi manusia, bukan kesulitan.

2. Menunjukkan Keadilan dan Kemanusiaan

Keringanan bagi musafir mencerminkan keadilan dan nilai kemanusiaan dalam Islam. Setiap orang memiliki kondisi yang berbeda sehingga Allah memberikan kelonggaran sesuai kebutuhan. 

Imam Syafi’i menjelaskan bahwa perjalanan sering kali membawa kesulitan sehingga Allah memberikan banyak kemudahan agar musafir tetap dapat beribadah dengan ringan.

3. Memberikan Kemudahan tanpa Mengurangi Ketaatan

Keringanan ini bukan berarti mengurangi ketaatan, melainkan agar ibadah dapat dilakukan dengan lebih tenang. 

Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hajj [22]:78, “Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama.”

 

Itulah penjelasan tentang musafir dalam Islam, lengkap dengan syarat serta keringanan yang diperolehnya. 

Dengan memahami ketentuan tersebut, Anda dapat menunaikan ibadah dengan lebih ringan dan tetap sesuai tuntunan syariat, meskipun sedang dalam perjalanan jauh.

Selain menjaga ibadah, penting juga untuk terus berikhtiar dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidup dengan cara yang halal dan aman. 

Apabila Anda membutuhkan dana tambahan, jangan ragu untuk mengajukan pembiayaan ke BFI Finance melalui Pembiayaan Syariah dari Unit Usaha Syariah (UUS) BFI Finance. 

Dengan Pembiayaan Multiguna Syariah ini, Anda dapat memperoleh pembiayaan sesuai prinsip syariah untuk berbagai keperluan, seperti tambahan modal, pembelian barang, hingga kebutuhan keluarga.

Dengan proses yang transparan dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), BFI Finance Syariah hadir sebagai solusi amanah untuk membantu mewujudkan kebutuhan Anda.

Bersama BFI Finance Syariah, Anda bisa #JauhLebihTenang dalam setiap langkah menuju keberkahan.

 

Baca juga: Sejarah Idul Adha; Hikmah dan Makna dari Sebuah Pengorbanan

Pembiayaan Syariah

Pembelian mobil bekas dan Multiguna syariah dengan fitur Tanpa Denda dan Tanpa Penalti Lihat Syarat

Kategori : Syariah